Posted by : Unknown
Desember 18, 2013
Hujan
malam itu turun dengan sangat deras. Suhu dingin menjalar liar menusuk
kulit-kulit yang tak terlindung oleh tebalnya tembok rumah. Mobil-mobil mewah
melaju kencang di jalan raya. Tak pelak, genangan air turut menyiprat
sekitarnya.
Cipratan
air itu mengenai kulit seorang anak kecil yang duduk jongkok di pinggir jalan
raya, berteduh “sementara” dari derasnya air hujan malam itu. Ya, sementara,
sebelum diusir oleh mereka yang merasa berhak…
“…aku
memang sudah ditakdirkan menjalani kehidupanku sebagai bocah miskin terbuang
yang tidak pernah dianggap ada oleh mereka.” Bocah kecil itu memangkukan
kepalanya di atas tangan. Suaranya terisak.
^
^
Sore
hari sebelum malam itu.
Plak.
Tamparan keras menghantam pipi bocah terbuang itu. “Hei bocah nakal, mana kedua
orang tuamu?”
“Ampun
pak… Ampun..”
“Hei,
jawab pertanyaanku! Mana orang tuamu yang mendidik kamu menjadi pencuri?” Mata
orang itu melotot, hampir-hampir mau copot.
“Ampun
pak… Aku nggak punya orang tua.”
“Apa?
Nggak punya orang tua? Lalu, bagaimana caramu mengganti senampan roti yang
telah ternodai tanganmu itu?” Bapak itu menunjuk roti-roti yang terserak di
atas tanah. Mukanya kian membara.
“Ampun
pak… Aku nggak bisa apa-apa…” Sebutir air mengalir di pelipis bocah itu.
Dengan
geram, bapak itu menjewer telinga kiri anak itu. “Aduh.. duh… Ampun… Sakit…”
“Maaf
nak, setiap perbuatan ada konsekuensinya. Sekarang, kamu, harus mengganti
segala kerugian akibat perbuatanmu itu. Mengerti?”
“Ampun
pak… aku nggak ada uang… Hu… hu…”
“Tidak.
Kamu tidak perlu menggantinya dengan uang.” Senyum sinis tergurat di wajahnya.
Terasa
tendangan kuat di bokong anak kecil itu. Panas. Tubuhnya terjungkal ke
sekerumunan wanita yang sedang membuat adonan roti. Mukanya mencium tanah.
Seorang
ibu mendekatinya.
Tidak.
Itu bukan ibu-ibu. Terlihat sekali dia masih muda. Dia seorang gadis. Bocah
terbuang itu agak takut. Perlahan dia mundur.
“Tenang
bocah kecil, jangan takut… Namamu siapa?” Senyuman tulus dari gadis itu
membakar habis segala ketakutan yang bersemayam pada diri bocah itu. Bahkan,
kobarannya semakin besar hingga mengacaukan tempo detak jantung bocah kecil
itu.
“Aku…
Eh, namaku…” Susah sekali bagi bocah kecil itu berkata-kata. Detak jantungnya
bertambah cepat. “Aku Richard. Salam kenal.” Ah, lega.
“Wah,
nama yang bagus untuk seorang bocah kecil sepertimu.” Wanita yang lainnya
tertawa. “Ups, maaf, aku salah ngomong ya? Namamu bagus sekali.”
“Kalau
mbak namanya siapa?” Richard agak getir menanyakannya.
“Aku
Sarah. Sepertinya kamu harus istirahat. Ayo, aku ajak ke kamarku.” Sarah
membantu Richard berdiri. Dia menyeka debu yang menempel di sekujur pakaian
Richard. Wajahnya memerah.
Aku
yang miskin dan terbuang ini ternyata masih bisa merepotkan orang lain.
^
^
Richard
duduk di atas dipan. Dia tidak menyangka tadi sore dimarahi oleh seorang bapak
penjual roti yang super galak itu dan sekarang berbeda. Waktu itu, Richard
sudah pasrah akan apa yang akan dihadapinya nanti. Eh, nggak nyangka mala mini
dia sudah bisa nyantai di kamar seorang gadis yang baik hati karena telah
membantunya waktu itu. Terbayang semua kenangan indah –walaupun sesaat- yang
takkan pernah terlupa sepanjang hidupnya. Dia akan selalu mengingat nama gadis
baik hati yang membantunya tadi. Sarah. Ya, itulah namanya. Nama yang sangat
indah.
“Padahal
sudah larut malam, tapi kok mbak Sarah belum datang juga ya?” Richard memandang
bulan purnama yang tersingkap dari balik jendela. “Aku jadi khawatir.”
Lambaian
angin malam meraba kelopak mata Richard. Perlahan, kantuk mulai menyerang.
Richard
merebahkan badannya di atas dipan. Dia mulai mengatupkan matanya. Tapi…
Prak.
“Suara
apa itu?” Richard menghampiri pintu dan membukanya sedikit. Dia melihat mbak
Sarah duduk bersandar dan sebuah sapu patah tergeletak di sampingnya.
Gubrak.
Lagi-lagi
suara mengganggu khusyuknya suasana malam kembali tercipta, namun kali ini dia
melihatnya dengan jelas adegan kekerasan itu di depan matanya sendiri.
“Mbak
Sarah...,” suaranya lirih.
Richard
melihat dengan jelas, dengan mata kepalanya sendiri, sebuah tong sampah besi
menghantam wajah mbak Sarah. Perlahan, cairan kental merah mengalir manja dari
hidungnya. Dia tak sadarkan diri.
“Sarah,
kalau kamu masih mengurus anak sialan itu, akan kupecat kau dari pekerjaanmu!”
Richard
tahu mbak Sarah tidak bisa mendengar amukan bapak penjual roti yang pemarah
itu. Dia tahu mbak Sarah itu hanya pegawainya, tapi jangan gitu juga dong.
Richard sangat tidak terima dengan perlakuan kasar dan tidak beradab ini. “Aku
lebih baik kembali menjadi gelandangan daripada harus merusak kehidupan orang
lain.”
Richard
segera keluar dari rumah itu. Sebelum keluar, ketika melewati mbak Sarah yang
masih pingsan, dia membisikkan sesuatu di hadapannya, “Mbak Sarah, terima kasih
atas segala kebaikanmu selama ini. Aku janji, setelah aku keluar dari rumah
ini, aku akan menjadi manusia yang lebih baik, yang bermanfaat bagi manusia.”
Richard lalu meraih kapur yang tersampir di samping mbak Sarah dan menuliskan
sesuatu di dinding.
Jangan
cari aku.
^
^
“Pak,
kenapa kau biarkan Richard pergi dari rumah ini!”
Bapak
pemarah itu mengisap cerutunya dengan nikmat lalu menghembuskan asap ke udara.
Tampaknya dia cuek.
“Hei
Sarah, biarlah saja dia pergi. Memang takdirnya itu di jalanan. Sarah, kau
harus mengerti bahwa kehidupan ini memang keras. Nggak usahlah kau jadi sok
pahlawan menolongnya segala.”
“Tapi
pak, Richard itu juga manusia. Kita harus mencarinya. Kehidupan di luar
sangatlah liar! Bagaimana kalau misalnya nanti dia mati kelaparan?” Sarah
berteriak-teriak meneriaki bapak pemarah yang juga majikannya itu. Bulir-bulir
air matanya terhempas ke kanan dan ke kiri mengikuti tempo bicaranya. Hati
Sarah sungguh tidak tenang. “Kita harus mencarinya… harus!” Sarah melangkah
cepat meninggalkan rumah.
“Hei
Sarah! Jangan pergi dulu! Kerjaanmu masih banyak!” Majikan itu berusaha
mengejar Sarah.
^
^
Hujan
malam itu turun dengan sangat deras. Suhu dingin menjalar liar menusuk
kulit-kulit yang tak terlindung oleh tebalnya tembok rumah. Mobil-mobil mewah
melaju kencang di jalan raya. Tak pelak, genangan air turut menyiprat
sekitarnya.
Cipratan
air itu mengenai kulit seorang anak kecil –bernama Richard- yang duduk jongkok
di pinggir jalan raya, berteduh SELAMANYA karena terusir dari nyamannya
kebaikan mbak Sarah, sesosok malaikat yang tercipta untuk memperbaiki kehidupannya.
Richard
terus mengeluhkan keburukan-keburukan mereka yang merasa lebih baik dari
dirinya.
“Tolong!
Tolong!” Sebuah teriakan nyaring membahana seantero kota. Teriakan itu tidak
sengaja mengetuk gendang telinga Richard dan gendang hatinya sehingga Richard
sangat bergairah memenuhi permintaan tolong itu.
Sepertinya
aku sangat mengenali suara itu. Jangan-jangan…
Ya,
dugaan Richard tepat. Teriakan itu adalah teriakan mbak Sarah yang terkepung
sekelompok orang yang menghunus samurai. Dia dan seorang bapak yang sangat
dikenalnya dengan sifat pemarahnya terkepung tanpa membawa senjata apapun.
“Hei
bapak tua, segera serahkan pabrik rotimu itu kepada kami atau kamu ingin
melihat jasadmu terpisah dari kepalanya?” Seorang pria bersenjata itu
mengeluarkan ultimatum.
“Tidak
akan!”
“Dasar
tua bangka tamak!” Sekelompok orang bersenjata tajam itu mulai memainkan
samurainya. Mengancam jiwa. Memudarkan asa. Melepas harapan hidup. Sarah dan
majikannya sudah tidak terpikir lagi apakah esok masih bisa menatap mentari
pagi.
“Hentikan!”
Richard yang seorang anak kecil itu berani menantang para preman bersenjata
itu. Hening. Para preman itu beralih pandangan ke Richard. Salah seorang dari
mereka tersenyum sinis. “Hei bocah ingusan, kau sudah ganti popok?” Sontak,
tawa pecah di antara mereka.
Permainan
pedang mereka kini beralih ke Richard. Dengan susah payah, dia berusaha
menghindari setiap sabetan yang tercipta. Richard sadar usahanya ini sia-sia.
Lagipula di tidak membawa senjata. Tapi, anak sekecil Richard pun tahu dia tak
mau mati konyol seperti ini.
“Ayo
Richard sayang, kau pasti bisa!” Harapan lirih keluar dari mulut Sarah.
“Ya,
aku pasti bisa!” Richard mulai menggerakkan badannya. Dia mulai menyepak betis
salah seorang dari mereka, menginjak kaki mereka, meninju organ “vital”,
menyundul perut mereka hingga mereka hanya bisa berkata, “Aduh… sakit..” sambil
memegangi bagian tubuh yang sakit.
Richard
tersenyum. “Mbak Sarah, aku bisa!” Mbak Sarah pun membalasnya kembali dengan
senyuman walaupun raut khawatir masih tampak dari wajahnya.
“Ya
Richard, mbak yakin padamu.” Angin malam berubah menjadi angin kebahagiaan.
Dingin pun sudah tidak terasa karena telah berganti dengan kesejukan. Awan
kabut yang menyelimuti bulan mulai sirna. Bulan purnama menyinari wajah mereka
berdua. “Richard… awas!”
Sebuah
samurai menusuk dada kirinya, tepat di area vital anak itu, area jantung.
Richard masih –mencoba- tersenyum. Kata-kata terakhir keluar dari mulutnya,
“Jangan cari aku.”
Jasadnya
ambruk bersamaan dengan ambruknya kebahagiaan dalam kehidupan Sarah.
“Richard…
aku nggak tahu akhirnya akan menjadi seperti ini…” Sarah melihat tragedi itu.
Tragedi berdarah. Darah. Cairan segar merembes dari tubuh lunglai Richard.
Sarah merasa pusing. Ambruk.
Wing
wung wing wung. Sirine polisi terdengar semakin nyaring.
Para polosi itu menerima laporan bahwa ada kerusuhan di daerah itu.
Tapi
semuanya terlambat.
^
^
Orang-orang
berpakaian serba hitam memenuhi sebuah tanah lapang. Mereka menguburkan jasad seorang
anak kecil yang kelahirannya dulu tiada yang menginginkannya selain kehidupan
jalanan yang liar, tapi kini kematiannya dipandang oleh sekian manusia. Mereka
menghargai –betul-betul menghargai- aksi heroik seorang bocah yang di nisannya
tertulis “Richard bin Abi Richard”. Mereka sangat kehilangan seorang pahlawan
yang dulunya adalah kaum terbuang.
Sarah
menaburkan kembang di atas peristirahatan terakhir Richard, sahabat terbaiknya.
Air matanya mulai mengalir. “Richard, aku sangat berterima kasih atas kehidupan
yang kau berikan padaku…”
“…
kau benar-benar pahlawanku.”
Di
alam sana, Richard tersenyum.
2 Comments
{ 2 komentar... read them below or Comment }
...BACA DULU...
Kalau mau komen tapi nggak punya akun gmail, pilih Name/URL lalu masukkan URL-mu di fb atau twitter. Contoh: twitter.com/maudyayunda atau fb.com/YUI.international (jangan pake akunnya orang lain...)
Kalau komentar pake Anonymous, PASTI dihapus.
Untuk mendapatkan pemberitahuan komentar, beri centang pada tulisan Beri Tahu Saya di pojok kanan bawah form komentar.
Storyline nya APIIIK TEENAAAAN
BalasHapusMakasih banyak gan...
Hapus