Posted by : Unknown
Desember 18, 2013
Ini soal apa sih... |
Ulangan
matematika lagi.
Beh,
kesal sekali. Ingin sekali rasanya kujambak rambut hitamku yang eksotis ini
(ihiiir). Tapi sayang, pesonaku sangat jauh dari yang namanya depresi. Ya, aku
adalah orang yang sangat memperhatikan penampilan. Mode adalah segalanya
bagiku. Tapi kini, ahhhh, aku sangat depresi. Aku... pasrah.
“Hei,
jawaban nomor satu essay apa?” Orang ‘asing’ di sebelahku tiba-tiba saja
memecah lamunanku.
“Nggak
tahu ah! Cari tau aja sendiri!” Aku menjawabnya dengan intensitas bunyi
0,000000001 desibel, sangat tidak terdengar (ya iya lah, masak pas ulangan mau
nyaring-nyaring ngomongnya).
Napa
sih orang ini? Maunya kepo aja. Tanya orang terus jawabannya. Dia nggak tau apa
sekarang lagi ulangan? Makanya, belajar dong! Mikir pakai otak! Jangan pakai
dengkul! (ups, aku terlalu jahat ya?).
Aku
bingung banget lo sama orang-orang yang kebiasaan nanya jawaban atau yang
istilah gaulnya sih, nyontek. Aku bingung, apa waktu yang sangat lama untuk
belajar itu nggak dia gunakan sebaik-baiknya ya? Apa hidupnya hanya diisi
dengan kesia-siaan? Dengan hura-hura saja? Heh, dasar nggak guna.
Yang
penting kan, aku bisa ngerjain ulangan ini dengan lancar. Pikir amat orang lain
susah... Hahaha...
***
Waktu
pembagian nilai...
“Oke
anak-anak, kali ini ibu akan membacakan nilai-nilai ekselen kalian. Apa kalian
sudah siap mendengarnya?”
“Iya,
Bu...” Penghuni sekelas menjawab serentak.
“Oke,
ibu akan membacakan dari nilai tertinggi urutan ketiga.”
Suasana
kelas itu tiba-tiba saja mencekam. Semua siswa pada tegang. Rasanya, nggak ada
deh yang nggak akan tegang dengan suasana seperti itu. Beh, untung aja di kelas
ini ada AC. Namanya juga kelas unggulan dari sekolah unggulan. Tapi perasaan
semua kelas unggulan deh (hehehe...). Jadi udah jangan ditanya deh, “Eh, di
sekolahmu ada kipas angin, nggak?” Hah, kipas angin? Nggak salah dengar tuh? Di
sekolahku tu ya, jangankan kipas angin, AC aja ada. Tipi ada. Proyektor ada.
Mmmm, apalagi ya? Pokoknya segalanya ada deh. Sampai-sampai, mau ngenet di
kelas juga bisa. Kan pake wifi bro. Hape-hape kita juga smartphone semua.
Hahaha...
Kembali
ke adegan menegangkan itu.
“Juara
ketiga...”
Makin
tegang aja dah.
“Yaitu...”
Ayolah,
aku dah nggak sabar nih. Kayaknya, aku yang juara satu deh.
“Doni.”
Heh,
juara tiga orang yang di sampingku pas waktu ulangan, yang pas waktu itu mau
tanya jawaban? Aku nggak sudi. Eh, tapi nggak pa-pa lah, yang penting aku juara
satu.
“Juara
dua adalah Rani.”
Ihiiir,
cewek idamanku juara dua. Juara satunya siapa ya? Siap menemani nih.
“Juara
satunya adalah...”
Deng
deng deng deng...
Makin
tegang.
Tegang
banget nih.
Siapa
ya?
“Jono!”
Hah,
bukan namaku?
Serentak,
seluruh kelas menjadi ricuh ketika para pemenang soal matematika itu selesai
dibacakan. Kita semua senang. Eh, nggak ding, aku nggak. Aku sangat nggak
senang dengan pembacaan ini. Aku nggak senang pada para juaranya. Aku nggak
senang ma gurunya (lagian jelek sih). Aku nggak senang sama semuanya. Titik.
Dengan
langkah terburu-buru, aku meninggalkan kelas. Aku sangat kecewa dengan hari
ini. Sangat kesal. Coba saja aku punya alat yang bisa menghapus hari. Mungkin
bentuknya kayak stip. Akan kuhapus hari yang menyesakkan ini. Coba saja aku
punya Doraemon, pasti sudah aku koyak-koyak kantong ajaibnya dan akan aku
rampas semua senjata mematikannya, biar semua orang tahu, betapa marahnya aku
pada hari ini. Kalian yang punya mata, lihat saja sebentar lagi, bahkan leher
pun akan terlepas dari jasadnya. Hahaha (ketawanya kuntilanak mode on).
Seseorang
memanggilku, “Andre! Andre! Jangan pergi dulu!”
Sialan.
Siapa lagi yang memanggilku di saat suasana hatiku kritis seperti ini? Dasar
sompret!
Dengan
jengkel, kutolehkan kepalaku dengan malas pula. Siapa sih yang manggil aku?
Ketika kulihat. Ketika mataku dan matanya berpapasan. Ketika dunia berhenti
saat itu juga, barulah kusadar.
Ahhh,
guruku yang galak!
Tanpa
ba bi bu, segera kutancapkan gasku dan mencoba mengambil langkah seribu. Eh,
jangan langkah seribu, masih kurang! Langkah sejuta kalau perlu. Atau, langkah
semiliyar dengan langkah-langkah korupsi dari rakyat. Kurasa itu cukup. Mmmm.
“Andre,
janganlah kau lari dari ibu! Sini! Ibu punya kabar gembira!”
Iya
kah? Kok tiba-tiba rasanya ingin sekali diriku mendekatinya. Kudekati aja dah
guru itu. “Ada apa, Bu?”
“Ikut
ke kantor sekarang!”
Yah,
kabar gembira dari mana?
***
“Kamu
itu gimana sih, Ndre! Matematika semudah ini saja kamu dapat nilai NOL!”
Apa?
Aku tersentak dan langsung bangkit dari kursi tanpa perintah lagi.
“Andre,
duduk dulu!”
“Iya,
Pak.”
“Gini
Ndre, sebentar lagi orang tuamu akan datang ke sini dan akan saya jelaskan
betapa ‘pintar’-nya kamu hari ini. Setuju?”
“Nggak
setuju, Pak!” kujawab dengan yakin.
“Eits,
kamu boleh nggak setuju. Tapi, dalam hitungan tiga, orang tuamu akan berada di
dalam ruangan ini...”
“Tiga...”
“Dua...”
“Sa...”
“Assalamualaikum!”
Hitungan belum selesai dan orang tuaku sudah berada di depan pintu. Kayaknya.
“Iya,
masuk!” jawab Pak Guru itu.
Dua
orang dewasa memasuki ruangan itu. Aku terperangah. Akhirnya ada yang masuk
juga. Eh, bukan orang tuaku ternyata. Yes, 1-0.
“Mana,
Pak? Katanya orang tuaku mau datang?”
“Iya,
ini juga mau datang.”
“Mana?”
Kring.
Telepon butut di meja guru berbunyi. Eh, tapi itu telepon apa? Kukira tadi
pisang berdebu. Hehehe, sekolah yang unik. Canggih tapi butut.
“...”
suara di seberang sana. Sorry bro, aku nggak bisa mendengarnya. Namanya juga
ditelepon.
“Iya.”
“...”
“Iya.”
“...”
“Iya.”
Asli,
ini orang pada ngomongi apa sih? Kok nggak jelas gini percakapannya.
“Pak,
anak Bapak mendapat nilai NOL.” Mak jleb, perkataan busuk itu menembus kotoran
telingaku. Aku nggak salah dengar ya?
“Hahaha.”
Terdengar suara tawa guru itu yang terukir jelas... di imajinasiku. Heh.
Aku
tertunduk malu. Berusaha menyesali segala yang terjadi. Ya sudahlah.
Aku
keluar dari sekolah dengan langkah gontai. Lemas. Rasanya tu sangat nggak
semangat menatap mentari siang. Panas. Padahal, baru saja minum ketika keluar
dari Ruang Guru. Tapi kok rasanya dehidrasi. Ah, yang namanya galau memang
mengalahkan segalanya.
Dengan
langkah semangat, Doni mendekatiku. “Akhirnya, bisa juga aku mendapat peringkat
walaupun peringkat tiga.”
“Maksudmu
apa, Tukang Contek?”
“Yeee,
biarpun nyontek begini, aku kan jauh di atasmu. Emangnya nilaimu berapa?”
tanyanya dengan memasang wajah mengejek dan mulut menjijikkan.
“Kepo.”
“Ah,
pelit!”
“Nggak
pa-pa, daripada kepo. Penyakit menular.”
“Bye
dulu dah. Susah ngomong sama orang yang nggak jelas.” Yeee, yang nggak jelas
juga siapa, datang-datang membuat iri orang lain.
Kemudian
Rani mendekatiku dengan langkah gontai. Hampir seperti langkahku tetapi lebih
gontai. Kenapa ini anak?
Dia
membuang kertas ujian matematikanya.
Aku
kaget.
“Yah,
cuma dapat 99!” keluhnya.